Siang itu, dalam sebuah perjalanan kereta, terdapatlah laki-laki dan perempuan. Duduk berdampingan. Keduanya saling diam. Sang istri berupaya memejamkan matanya. Tapi tidak tidur-tidur juga. Sedangkan sang suami sibuk dengan sebuah benda kotak warna hitam. Entah apa yang dilihati dan dinikmati dari teknologi yang katanya pintar itu.
Berselang puluhan menit berikutnya, saat terdengar pengumuman bahwa kereta akan berhenti di sebuah stasiun, sang istri bergegas mengambilkan sebuah bungkusan makanan. Wanita itu meletakkan bungkusan ke dalam tas suaminya dengan hati-hati.
Sang suami menerima bungkusan itu dengan respons hampa. Sama sekali tak menatap. Hanya melirik sejenak kepada istrinya seraya mengangguk kecil.
Tak lama setelah itu, sang istri pun pamit. Wanita yang terlihat seperti pekerja kantoran ini menjabat dan mencium tangan suaminya. Tulus. Tak lupa, ia mengucapkan beberapa kalimat izin. Memohon keikhlasan sang suami.
Entah kenapa, sang suami tidak beranjak dari pengamatannya terhadap benda kotak berwarna hitam di tangannya. Mulutnya seakan terkunci. Pandangan matanya seperti dicokol. Sama sekali tak memberikan tatapan melindungi atau berpesan agar istrinya hati-hati. Dingin. Tanpa ekspresi bernama cinta.
Di sudut lain, seorang laki-laki usia empat puluhan tengah duduk bersama sang istri yang usianya lebih muda beberapa tahun. Terlihat serasi sebab si laki-laki gagah, bersih wajah, dan berpakaian rapi. Sedangkan si istri terlihat anggun dengan pakaian panjang dan kerudungnya yang menjuntai.
Duduk di sebuah rumah makan, keduanya saling diam. Entah apa yang disaksikan oleh masing-masing. Keduanya kompak menatap sebuah layar berbentuk kotak di tangan kirinya, diiringi gerakan cepat menggeser ke atas-ke bawah, ke kanan-ke kiri.
Berdua. Bersama. Tapi, tak ada komunikasi. Sibuk dengan kotaknya masing-masing.
Dua pemandangan ini bukan hal baru. Marak. Jumlahnya pun semakin menjamur. Bukan hanya antara suami dengan istrinya, tapi terjadi dalam semua lini kehidupan.
Inilah di antara ironi yang menjadi keprihatinan. Mendekatkan yang jauh adalah kelebihan, tapi merupakan kekurangan lantaran menjauhkan yang dekat. Bersamaan.
Di banyak lokasi, silakan amati. Bahkan, di masjid-masjid, saat usai salam kedua, banyak di antara kaum Muslimin yang langsung membuka ponselnya. Seakan-akan, di ponsel itulah kehidupan yang sebenarnya. Pun sesaat ketika hendak khutbah Jum’at. Jika dahulu kita diajari untuk menunggu khutbah dengan dzikir, kini orang-orang menunggu khutbah dengan berselancar di media sosial.
Beruntungnya, ada di antara mereka yang menggunakan perangkat berjuluk canggih itu untuk membaca al-Qur’an atau aplikasi yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala.
Wasapadailah! Inilah hal remeh yang bisa mengeyahkan romantisme sepasang suami-istri. Bahkan, ianya bisa merenggut keharmonisan dalam rumah tangga Anda! Berhati-hatilah! Sadari sejak awal. Jangan sampai menyesal di kemudian hari setelah istri atau suami Anda telah tiada. [Pirman/Keluargacinta]