Duhai Perempuan, Hendak Berkarir di Luar atau Berkarir di Rumah?

Pertanyaan yang amat sering menyambar siapa saja pasca lulus kuliah adalah, “sekarang kerja dimana?” Atau, “Kapan nikah?” Eaaaa… Kalau pertanyaan kedua sih pertanyaan yang pasti terdengar tak mengenal waktu. Masih kuliah kek, setelah kuliah kek, entah kenapa terutama kaum sesepuh sangat suka melontarkan pertanyaan yang sejatinya bikin telinga para jomblo kepanasan. Hehehe

Aku sendiri, sudah menentukan sikap bagaimana rencana karirku berikutnya. Yang pasti ada banyak pertimbangan yang sudah mulai kutimang-timang (anakku sayang) beberapa bulan terakhir ini. Ya, perencanaan itu penting, tinggal nanti bagaimana mengatur langkah untuk bisa sejalan seirama dengan pasangan kita nanti.

Sepertinya diskusi tentang perencanaan masa depan, sudah menjadi diskusi paling menarik bagi kita sesama kaum hawa. Aku sendiri lebih banyak bertanya pada teman-teman yang sudah menikah dan mempunyai anak. Salah satunya, untuk mempertimbangkan keputusanku nanti. Bukankah mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain itu lebih baik?

Sore tadi, aku kembali berdiskusi singkat tentang karir perempuan. Awalnya, aku hanya ingin mengajak adik kelasku untuk mengikuti perekrutan anggota baru KAMMI. Tetapi, ternyata dia sedang hamil 7 bulan, Aku bahagia sekaligus kaget. Bahagia karena tentu saja hamil dan memiliki anak adalah impian setiap wanita, termasuk diriku. Kaget karena sebelumnya aku sama sekali belum tahu kalau sang adik kelas ini sudah menikah sejak tahun 2012 silam.

“Teteh, tau ada informasi lowongan kerja, gak?” Tanya adik kelasku melalui BBM

“Oya, Buat kapan? Bukannya sekarang dirimu lagi hamil yak?” Aku balik bertanya, karena merasa heran sendiri, lagi hamil kok mau bekerja…

“Iya nanti setelah melahirkan, pokoknya pingin langsung kerja.” Jawabnya. Fyuh akupun sedikit bernafas lega setelah mendengar jawabannya. Secara, aku sedikit kaget kehamilannya yang sudah berumur 7 bulan. Apa jadinya jika dibawa bekerja? Bukankah bagi wanita pekerjapun, saat usia kehamilan menginjak 7 atau 8 bulan adalah masanya cuti dari pekerjaan?

Aku sendiri tak menjanjikan, karena aku juga bukan seorang calo lowongan pekerjaan. Hehehe. Tapi, kusampaikan juga, jika suatu hari ada informasi tersebut aku akan menyampaikannya, In shaa Allah.

Iseng-iseng, aku mengirimkan gambar yang sedang ramai di jagat twitter. percakapan dua orang alumni mahasiswi UI yang di Screen Shoot kemudian tersebar. Maklumlah sekarang lagi musim Screen Shoot (SS) postingan orang kemdian disebar. Jika postingan tersebut bagus, tentu menjadi hikmah bagi orang yang membacanya. Namun jika postingannya jelek, malapetaka yang didapatkan. Kita bisa melihat kebelakang, kasus Dinda yang enggan memberi tempat duduk sama ibu hamil, juga kasus yang baru-baru ini ramai adalah kasus Florence yang berani berkata kasar tentang sebuah kota. Semua berawal dari SS 😀

Nah, berikut SS yang kukirim padanya

Percakapan tersembut sedikit membantah mitos orangtua jaman dulu, terutama di tempatku yang masih kental dengan nuansa kampungnya, bahwa seorang perempuan gak usah sekolah tinggi-tinggi, karena toh pada akhirnya akan mengabdi di dapur (memasak) sumur (mencuci) kasur (melayani suami)

Sepintas, ungkapan seperti itu cukup masuk akal. Toh orang sekolah kan untuk bekerja, mendapatkan uang. Sekolah aja pakai uang, masa setelah lulus gak menghasilkan uang karena lebih memilih menjadi abdi rumah tangga?

Bukankah pekerjaan-pekerjaan seperti itu juga pekerjaan yang sudah biasa dilakukan para ibu-ibu? Turun temurun dari ibu-ibu kita jaman dulu. Toh di sekolah tidak diajarkan bagaimana mencuci yang baik, bagaimana membereskan rumah yang baik, atau pekerjaan tektek bengek lainnya yang biasa ibu rumah tangga lakukan.

Namun, coba pikirkan kembali. Bukankah para ibu dihadapkan amanah lain selain dapur sumur dan kasur? Amanah yang pastinya sangat berat pertanggungjawabannya. Iya, Anak. Anak adalah amanah sekaligus anugerah yang sangat istimewa. Benarkah tidak tergiur untuk memiliki anak yang jauh lebih hebat dari ibunya?

Sungguh, akupun mengirim gambar tersebut tak bermaksud untuk mencuci otak adik kelasku agar menjadi Ibu rumah tangga saja. Kubilang padanya, untuk sebuah renungan. Terkadang, aku sendiri begitu berambisi untuk memiliki pekerjaan yang bagus karena aku seorang lulusan IPB. Masa lulusan IPB gak kerja? Si anu saja, yang hanya lulusan SMA sudah bekerja di tempat anu. Terkadang menyakitkan, perkataan tersebut.

Seperti yang terjadi pada kisah sahabatku Nouna (nama disamarkan) Ia telah berhasil menjadi seorang istri dari seorang pengusaha cukup sukses. Rumah cukup memadai, kendaraan pun lebih dari bagus. Dan seorang anak laki-laki berumur 1 tahun yang menggemaskan juga pintar. Karena pekerjaan rumah belum terlalu banyak, lama-lama Nouna merasa jenuh sendiri dan lebih memilih bekerja di luar.

Awalnya suami merasa keberatan, tetapi setelah berdiskusi cukup panjang dan lebar, dan dengan rayuan maut sebagai jurus jitu, akhirnya sang suami mengijinkan Nouna bekerja. Satu bulan, sibuk mencari pekerjaan kesana kemari. Bulan berikutnya, Nouna mendapatkan pekerjaan yang cukup bagus. Berangkat kerja pagi, diantar suami, dan pulang sore dijemput suami.

Di bulan ke tiga memasuki dunia kerja, Nouna mulai keteteran dengan pekerjaannya. pagi-pagi harus memandikan anak, menyiapkan keperluan suami, dan hal-hal lainnya. Sehingga banyak pekerjaan rumah yang terbengkalai. Akibatnya, perhatian kepada suami dan anak pun sedikit teralihkan. Suaminya jatuh sakit dan mulai sering masuk rumah sakit, pun bisnisnya merosot tajam.

Anaknya menjadi sangat rentan sakit, karena lebih sering jajan sembarangan saat ditinggal. Dan beberapa kali masuk rumah sakit. Nouna sendiri, cukup stress menghadapi kenyataan itu. Sampai hari ini, saat catatan ditulis, ia masih terbaring lemas di Rumah Sakit karena asam lambungnya tinggi dan radang usus.

Terakhir kontak melalui BBM, dia merasa menyesal telah memilih bekerja demi uang yang tak seberapa dibanding penghasilan suaminya dulu.

Aku sendiri, meskipun aku dari keluarga biasa saja dan membutuhkan perjuangan yang cukup besar untuk menyekolahkanku, orangtuaku tidak menuntutku untuk bekerja dan segera mengganti uang yang habis digunakan untuk biaya sekolahku (ada lho orangtua seperti ini). Dari sejak aku mulai duduk di bangku SD, mereka hanya berpesan, “Nak, belajarlah biar kamu memiliki banyak ilmu. Jika kamu memiliki banyak ilmu, maka kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan. Bukankah Nabi Sulaiman pun memilih ilmu dari 3 pilihan Allah? Kemudian bisa mendapatkan semuanya?”

Untuk menjadi wanita karir, boleh saja. Karena seorang perempuan juga haruslah mandiri. Kalau bahasa kerennya sih akhwat tangguh, keren menurut gue maksudnya. Iya, termasuk mandiri dari segi finansial. Karena akan ada beberapa kemungkinan yang bisa saja datang diluar rencana kita. Misal, suami meninggal, sementara kita tidak bekerja. Lalu, bagaimana kita bisa menyambung hidup jika sebelumnya kita tak terbiasa mandiri?

Sebagai seorang perempuan, ini cukup menjadi masalah yang menggamangkan hati dan pikiran kita? Memilih menjadi wanita karir atau ibu rumah tangga? Iya, karena aku terlalu memutarkan otak pada lingkaran itu-itu saja, aku pun tak pernah mendapatkan hasil yang memuaskan. Ah ya, di rumah tapi tetap berkarir itu bisa banget.

Referensi dari cerita Nouna dan kemungkinan terburuk jika suami meninggal adalah, aku berkarir di rumah. Kalau kata Mas Ippho Right, Jadikan rumah tangga itu seperti Bisnis. Suami direktur, istri manager. Jika memiliki seorang suami yang berkarir di dunia bisnis, maka geluti bisnisnya dan masuk ke dalamnya. Namun, jika suami adalah pekerja, maka kita bisa membuat usaha rumah tangga yang nggak kalah tinggi hasilnya.

Sementara itu, untuk berkarir diluar adalah pilihan terakhir jika piliha – pilihan tadi sudah cukup sulit direalisasikan. Karena, bagiku menyaksikan dan menemani tumbuh kembang anak jauh lebih menggiurkan dibanding menghabiskan waktu dengan setumpuk kertas. Lalu menjadikan mereka orang-orang hebat. Bukankah ibu adalah madrasah pertama bagi anak? Lalu jika kita sibuk bekerja diluar, bagaimana anak bisa mendapatkan kecerdasan itu untuk ia jadikan sandaran?

Terakhir, ada teori yang menarik dan dipaparkan langsung oleh dr. Dr. Rina Masadah, Sp. PA, M. Phil (Genetika – Fak. Kedokteran Unhalu) “Setiap anak diwariskan tingkat intelektual dari kromosom 1 gen ibunya, bukan dari ayahnya. Oleh karena itu, carilah calon istri yang pandai, bukan yang cantik.”

Nah, ladies, mau dimana kamu berkarir? Di luar atau di rumah? 🙂

(by @Farmillaa)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

WhatsApp Online! Klik untuk konsultasi

Rancang Anggaran Pernikahan