Saya pernah membaca sebuah artikel bang Alex Pangestu di nationalgeographic.co.id yang bertajuk “Cinta itu Ilmiah, Kata Ilmuwan”. Saya tersenyum sendiri membaca artikel menarik tersebut, karena demikian pesat ilmu pengetahuan, demikian banyak ilmuwan, demikian canggih teknologi, namun tetap tidak mampu memecahkan rahasia jiwa manusia. Salah satu yang ada dalam jiwa manusia adalah perasaan cinta.
Saya menyebut istilah “jiwa” barusan. Padahal belum selesai diletakkan, sesungguhnya rasa cinta itu berasal dari mana ? Kita bisa berpanjang lebar berdiskusi soal ini, dan tidak pernah selesai. Sejak dari mendefinisikan kata jiwa, akal, ruhani, ruh, perasaan, sanubari, dan lain sebagainya; hal-hal yang relatif abstrak namun nyata. Termasuk juga mendefinisikan kualitas hati dan otak; ada apa sebenarnya di dalam hati dan di dalam otak ? Sampai diskusi tentang rasa cinta, dari mana datangnya, dimana letaknya, dan lain sebagainya. Bahkan mendiskusikan definisi atas kata cinta itu sendiri.
Konstruksi Budaya versus Penelitian Ilmiah
Dalam budaya masyarakat Indonesia, perasaan dianggap menjadi kualitas hati, sedangkan pemikiran dianggap menjadi kualitas otak. Misalnya kita mengatakan, “Hati saya merasa sedih”, atau “Hati saya sangat gembira”. Sedih dan gembira adalah perasaan, maka diletakkan di hati. Tidak ada orang mengatakan, “Otak saya merasa sedih”, atau “Otak saya sangat gembira”. Ungkapan lain seperti “Hatinya tengah berbunga-bunga”, yang menandakan adanya kegembiraan atau perasaan cinta pada diri seseorang. Tidak diungkapkan dengan “Otaknya tengah berbunga-bunga”
Dalam konstruksi budaya ini, hati bahkan terlanjur digunakan untuk menunjukkan segala sesuatu terkait dengan perasaan manusia. Misalnya orang terbiasa mengatakan, “Hatiku berdegup kencang sekali”. Pertanyaan ilmiahnya adalah, apakah hati (hepar) manusia itu berdegup ? Bukankah degupan itu berasal dari jantung ? Namun jantung menjadi lebih kencang berdegup karena adanya perasaan tertentu yang dirasakan hati, maka dengan mudah dikatakan hati yang berdegup.
Otak cenderung digunakan untuk menunjukkan hal-hal yang terkait dengan pemikiran. Maka dalam budaya masyarakat Indonesia, ungkapan yang sering kita dengar misalnya “Otakku sedang berpikir keras”. Jika ada orang yang tidak memiliki kemampuan akademis yang bagus, terbiasa dikatakan sebagai “otaknya lemah”, bahkan dalam kadar tertentu “tidak punya otak”. Untuk konteks ini, tidak lazim diungkapkan dengan “hatinya lemah”, atau “tidak punya hati”. Karena hati dianggap bukan wilayah akademis, namun wilayah perasaan yang abstrak.
Selama ini cinta dianggap bagian dari sebuah perasaan, dan oleh karena itu cenderung dinisbatkan sebagai kualitas hati. Maka dalam bahasa Indonesia, jatuh cinta juga biasa disebut juga sebagai jatuh hati, bukan jatuh otak. Demikian pula benci, dia adalah sebuah perasaan di sisi yang lain, maka cenderung diletakkan pada hati. “Membenci sepenuh hati”, atau “mencintai sepenuh hati” merupakan istilah yang lazim untuk menyatakan benci dan cinta yang amat sangat. Tidak disebut sebagai “membenci sepenuh otak”, atau “mencintai sepenuh otak”.
Antara konstruksi budaya yang telah berkembang di masyarakat dengan penelitian ilmiah, memang tidak selalu harus bertemu. Menurut seorang peneliti dari Syracuse University, Profesor Stephanie Ortigue, ada 12 (duabelas) area pada otak yang bekerja pada saat seseorang jatuh cinta. Kedua belas area itu menghasilkan bahan kimia, seperti dopamine, oxytocin, adrenalin, dan vasopression, yang berujung pada euforia. Rasa cinta juga memengaruhi fungsi psikologi, metafora, dan penilaian fisik. Inilah informasi awal yang ditemukan melalui serangkaian penelitian.
Maka, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, sesungguhnya cinta itu berasal dari hati atau otak ? Pertanyaan ini memisahkan secara mutlak antara aktivitas hati dengan aktivitas otak. Apa jawaban Ortigue ? “Pertanyaan yang selalu sulit dijawab. Saya berpendapat asalnya dari otak,” kata Ortigue. “Contohnya, suatu proses di otak kita bisa menstimulasi hati. Beberapa perasaan dalam hati kita sebetulnya merupakan gejala atas proses yang terjadi di otak.”
Asal perasaan cinta adalah dari otak, kemudian mempengaruhi suasana hati, demikian kurang lebih pendapat Ortigue. Hasil penelitian yang lain mendapati peningkatan jumlah darah dalam faktor penumbuh untuk syaraf, yang memegang peranan penting dalam cara orang bersosialisasi. Hal ini menghadirkan fenomena yang disebut dengan “cinta pada pandangan pertama”, sebagaimana dikonfirmasi oleh temuan Ortigue yang menyebutkan bahwa cinta bisa hadir dalam waktu seperlima detik.
Studi Ortigue juga mendapati ada bagian otak yang berbeda untuk tipe cinta yang berbeda. Cinta tanpa syarat, contohnya cinta seorang ibu pada anaknya, dipicu oleh aktivitas otak di bagian umum dan pada tempat yang berbeda-beda, termasuk otak tengah. Cinta yang bergairah antara kekasih melibatkan area kognitif, bagian yang mengharapkan imbalan, dan penilaian fisik. Ternyata, cinta bisa dipelajari dengan data-data ilmiah.
Menikmati Kehadiran Cinta
Terlepas dari apapun hasil penelitian dan studi mengenai perasaan cinta, sesungguhnya yang lebih penting adalah merasakan dan menikmati kehadiran cinta dalam diri kita. Dimanapun letak tumbuh berkembangnya cinta, biarlah terus menjadi bahan penelitian, kajian dan studi ilmiah orang-orang cerdik pandai itu. Kita bersyukur bahwa manusia terus menerus melakukan studi mendalam yang tidak pernah selesai, mengamati gejala-gejala keagungan Tuhan dalam jiwa manusia dan alam semesta.
Sembari para ilmuwan mengkaji dan mengembangkan studi mengenai cinta, mari kita nikmati kehadiran cinta dalam diri kita. Betapa cinta telah membuat hidup kita menjadi indah, membuat kegiatan kita penuh semangat dan gairah. Cinta suami kepada isteri, cinta isteri kepada suami, membuat mereka saling setia, saling menjaga, saling memberi, saling menerima, saling memaafkan, saling menguatkan dalam kebaikan, saling memahami, saling membantu, saling menasihati, saling mencemburui dalam batas wajar, saling menghargai, saling memaklumi dan saling menghormati.
Cinta manusia kepada sesama manusia, membuat mereka saling memberi, saling berbagi, saling toleransi, saling menghormati, saling menasihati, saling memaafkan, saling memahami dan saling berlaku bijak dalam interaksi. Cinta manusia kepada alam semesta membuat mereka menjaga kelestarian alam, memelihara alam dari kerusakan, tidak membiarkan tindakan yang merusak lingkungan. Alangkah indah hidup dalam cinta.
Kalaupun gagal mendefinisikan makna kata cinta, yang lebih penting adalah menikmati kehadiran cinta. Kalaupun cinta ada di hati kita, biarkan ia berkembang di hati. Kalaupun cinta ada di dada, biarkan ia tumbuh di dada. Kalaupun cinta ada di otak kita, biarkan bersemi di otak. Kita nikmati saja kehadiran cinta dalam hidup kita. Dimanapun ia berada.
Cahyadi Takariawan