Seolah-olah, shalih dan kaya itu satu paket lengkap. Seakan-akan, shalih dan kaya menjadi wajib sebelum seorang laki-laki datang melamar. Sepertinya, shalih dan kaya adalah kesatupaduan yang harus disandang oleh lelaki mana pun yang datang untuk mengajak menikah. Hingga karenanya, banyak pernikahan yang tertunda karena yang melamar tidaklah kaya, meski ianya memiliki keinginan yang menggebu untuk memperbaiki diri.
Karena salahpaham yang dipaksakan inilah, aneka dalil pun dilontarkan. Mulai dari biaya nikah yang semakin tak terjangkau, undangan walimah yang kudu sekian ribu orang, biaya hidup yang semakin meninggi mengangkasa, hingga dalih bahwa ada sekian banyak ibadah yang hanya bisa dikerjakan jika memiliki kekayaan puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Semakin terlihat benar ketika perkataannya menjadi, “Bukankah dakwah juga membutuhkan dana yang tidak sedikit dan karenanya sebagai muslimah harus menikah dengan muslim yang kaya raya?”
Lelaki ini terkenal sebagai sosok yang miskin. Sama sekali tidak berharta layaknya sebagian sahabatnya yang lain. Satu-satunya aset yang dimiliki hanyalah kebun pemberian Nabi. Itu saja. Akan tetapi, ia tak gentar untuk melamar seorang muslimah dari keluarga terhormat. Modalnya bismillah, diniati karena Allah Ta’ala dan menjalankan salah satu sunnah Nabi yang mulia.
Alhamdulillah, lamarannya diterima. Keduanya pun menikah. Berkah. Selepasnya, sang istri dengan amat setia mengurusi kebun suaminya itu. Ia juga rajin merawat satu-satunya kuda sang suami yang digunakan untuk jihad di jalan Allah Ta’ala.
Lepas beberapa masa pernikahan, lahirlah seorang anak shalih yang kelak menjadi panglima jihad dan salah satu pemimpin kaum Muslimin. Sepasang suami istri ini, menyejarah dari ayah-kakeknya, diri-suaminya, hingga cucu-cucunya kelak.
Si miskin yang datang melamar itu, tak lain adalah Zubair bin Awwam. Ialah sosok tak berharta namun memiliki kualitas keshalihan nan agung dan menyejarah. Sedangkan sang istri yang tak pernah sekali pun persoalkan harta calon suaminya, adalah Asma’ anak Abu Bakar ash-Shiddiq. Sedangkan sang anak yang lahir atas kerja cinta sepasang suami-istri ini, ialah ‘Abdullah bin Zubair.
Maka lihatlah, wahai kaum Muslimin. Menerima lamaran bukan harus shalih yang bertaut mesra dengan kaya. Sebab, kaya dan miskin hanyalah ujian. Tergantung bagaimana menyikapinya. Keduanya memiliki potensi selamat dan celaka yang sama.
Lihatlah lebih jauh, tentang shalih yang mendominasi. Ekstremnya, jika miskin tapi bisa membina dan menuntun Anda dan anak-anak kelak menuju jannah, apa salahnya? Bukankah miskin sebelum menikah amat mungkin untuk ‘dipoles’ hingga menjadi kaya raya dan bertambah shalih setelah akad? Bukankah berjuang berdua dari awal justru lebih asyik dan menyenangkan?
Sebab, jika lelaki yang hendak melamar Anda sudah kaya dan shalih, mungkin saja, bukan And yang menjadi seleranya. Nah! (KeluargaCinta)