Para sahabat Nabi menyepakati bahwa peristiwa terbesar yang layak mendapat apresiasi tahun Islam adalah Hijrah. Al Quran memuji langsung ibadah Hijrah tersebut. Berpahala agung dan berdampak istimewa. Jika hijrah para sahabat ke Madinah istimewa, maka yang paling istimewa adalah hijrah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hijrah menantang bahaya. Hijrah beliau dihargai dengan 100 ekor unta bagi yang berhasil menangkap atau membunuhnya. Iblis pun tahu jika Muhammad berhasil keluar dari Mekkah, maka dia akan membahayakan di kemudian hari dengan membawa kekuatan baru untuk menaklukkan Mekah. Dan hal itu benar terjadi. Mekkah takluk anya berselang 8 tahun saja.
Peristiwa seagung itu, melibatkan orang-orang agung yang mengantongi pahala agung. Ya, keluarga Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu anhu. Diantaranya adalah Abdullah bin Abi Bakar. Putra Abu Bakar.
Tugasnya tidak sederhana. Ia harus duduk seharian mendengarkan semua pembicaraan para pembesar Mekkah tentang Rasul dan ayahnya yang sedang di dalam Gua Tsur. Di sore hari menjelang gelap malam ia harus berjalan menuju Gua Tsur yang terletak di sebelah selatan Mekah sejauh kurang lebih 4 KM dengan ketinggian gua lebih dari 700 M di atas permukaan laut. Perjalanan itu bertujuan memberitahu Rasul dan ayahnya tentang semua berita yang ada di Mekkah. Esok pagi ia sudah harus ada di Mekkah lagi untuk melakukan hal yang sama. Dan sore hari kembali berjalan ke arah Gua Tsur. Selama tiga hari Nabi dan Abu Bakar menginap di Gua Tsur, itulah tugas Abdullah. Tentu sebuah perjuangan yang tidak ringan, melelahkan, berbahaya, dan yang pasti berpahala agung.
Keluarga Abu Bakar memang selalu istimewa. Dalam hijrah Nabi, keluarga Abu Bakar lah yang berperan. Anak-anak, pembantu hingga dirinya dilibatkan. Abdullah hadir dan dididik di dalam keluarga mulia itu.
Tapi perhatikan pemaparan Ibnu Hajar dalam Al Ishobah tentang kisah seseorang yang juga bernama Abdullah bin Abi Bakar. Dia menikah dengan wanita cantik jelita nan berakhlak mulia. Yaitu Atikah binti Zaid bin Amr. Ia adalah wanita Quraisy, saudarinya Said bin Zaid, salah satu 10 sahabat yang dijamin masuk surga dalam satu hadits Nabi.
Kecantikan dan keluhuran pribadi Atikah benar-benar menyihir hati Abdullah. Menyita seluruh jiwanya. Menyandera seutuh akalnya. Hari-harinya hanya mengagumi Atikah. Kecantikannya, jelitanya, dan adab mulianya.
Cinta Atikah nyaris tak menyisakan kehidupan Abdullah, kecuali mengagumi dan larut dalam cintanya. Setiap hari dan setiap saat.
“Ia (Atikah) menyibukkannya(Abdullah) dari perang-perangnya,” kata Imam Ibnu Hajar membicarakan biografi Atikah.
Jika cinta telah mulai berubah menjadi diktator dan mulai terlihat angkuh. Memaksa untuk hanya dia yang diperhatikan dan dipedulikan. Bahkan memaksa untuk melupakan berbagai kewajiban hidup. Maka ia harus ditegur.
Dan Abu Bakar sang ayah pun menegurnya. Meminta Abdullah untuk menceraikan Atikah. Abdullah sangat gundah. Setiap guratan kegundahannya dituangkan dalam untaian syair. Hari-harinya bersyair kegundahan akan pahitnya perpisahan. Dengan Atikah sang jelita paras dan jiwa. Kegundahan antara pilihan yang sulit; ayah atau kekasih hati.
Mereka berkata: ceraikan ia dan tutuplah posisinya
Menetap dengan harapan jiwa terhadap mimpi orang yang tidur
Sesungguhnya berpisah dari keluarga yang telah kucintai mereka
Begitu besarnya dariku adalah sebuah hal yang berat
Tapi Abu Bakar sudah tak bergeming. Abdullah harus tetap menceraikan Atikah. Apapun yang terjadi. Abu Bakar tak peduli apakah cinta itu sudah begitu dalam. Tak peduli apakah perpisahan adalah kemustahilan yang harus terjadi. Tak peduli apakah tidur tak lagi nyaman oleh usikan cinta dan kerinduan. Karena cinta telah egois dan angkuh.
Abdullah resmi menceraikan Atikah.
Tetapi hati Abdullah sudah terpatri dalam bilik cinta Atikah. Tak bisa bergeser apalagi keluar. Abu Bakar suatu hari mendengar Abdullah larut dalam syair kesedihan. Lagi-lagi, segalanya tentang Atikah,
Duhai Atikah sayang, aku tak mampu melupakanmu sepanjang mentari masih bersinar
Dan sepanjang merpati cantik itu masih bersuara indah
Duhai Atikah, hatiku sepanjang siang dan malam
Selalu bergantung pada dirimu tentang rasa dalam jiwa
Tak terbayangkan orang sepertiku menceraikan orang sepertimu hari ini
Tidak juga orang sepertimu yang diceraikan tanpa kesalahan
Ia berakhlak mulia, cerdas, terpandang
Dan kesempurnaan fisik yang dibalut malu dan kejujuran
Abu Bakar pun luluh. Setiap kata Abdullah mengundang simpati Abu Bakar. Begitu dalamnya cinta itu. Ketika dipisahkan berharap bisa terlepas dari cinta angkuh itu. Tetapi setelah dipisahkan justru cinta Atikah telah berubah menjadi penjara dan belenggu yang membuatnya tak mampu berbuat apapun. Lapangnya hati Abdullah tiba-tiba sempit. Dan hanya mampu melafalkan Atikah. Atikah terlalu sempurna di mata Abdullah.
Ayah bijak itu mengizinkan anaknya untuk kembali ke istrinya.
Abdullah kembali menumpahkan bahagianya dalam untaian indah,
Duhai Atikah, sungguh ia telah aku ceraikan
Kini aku telah kembali atas perintah yang hadir
Begitulah keputusan Allah yang hadir dan pergi
Pada manusia baik nyaman ataupun tidak
Hatiku lenyap setiap kali mengingat perpisahan itu
Dan hatiku menjadi tenang kembali karena Allah telah mendekatkan kembali
Selamat untukmu, aku tak melihat ada murka-Nya
Dan engkau semakin istimewa
Engkau termasuk orang yang diindahkan oleh Allah
Dan tak ada yang mampu merusak sesuatu yang diindahkan Allah
Perhatikanlah dua kisah Abdullah di atas. Dua nama yang sama. Dan memang Abdullah putra Abu Bakar. Orang yang sama.
Tetapi perhatikan perbedaannya.
Abdullah sang pejuang. Tak memiliki rasa takut walau bertaruh nyawa. Tak menyerah hanya karena lelah fisik dan gelap malam. Penuh perhitungan matang. Bergerak dan bergerak.
Tapi saat cinta menyapa…
Abdullah sang pecinta. Tak hanya hati yang dikuasai cinta. Akal, tangan, kaki bahkan seluruh hidupnya. Cinta membuatnya berhenti. Tak mampu bergerak. Tak terlihat pergerakan dahsyat yang dilakukannya saat malam hijrah itu. Cinta menghentikan gerak mulianya. Cinta menguasai akalnya. Cinta menguasai lisannya. Dan setiap saat hanya cinta dan cinta.
Tentu kita harus belajar banyak dari kisah orang sangat mulia ini. Orang-orang besar, sholih dan hebat pun bisa jatuh cinta. Mungkin tak terbayangkan oleh kita tentang bagaimana mereka jatuh cinta. Kisah di atas adalah gambaran jelas bahwa saat cinta itu datang kepada Abdullah putra Abu Bakar, terasa sama dengan cinta yang hadir kepada orang biasa. Tiba-tiba kita seperti melihat dua sosok berbeda. Padahal sama.
Begitulah.
Seperti Ibnu Hazm –rahimahullah– yang menulis kitab Fikih Al Muhalla, berubah seperti sosok yang berbeda ketika bicara tentang cinta dalam bukunya Thauqul Hamamah.
Seperti Ibnu Qayyim yang menghantam pemikiran sesat Jahmiyyah dan Mu’athilah dalam bukunya Ash Shawaiq Al Mursalah, berubah seperti sosok yang berbeda ketika membahas cinta dalam bukunya Raudhatul Muhibbin.
Seperti Abdullah pejuang hijrah, seakan sosok berbeda saat cinta Atikah.
Itu adalah rasa yang dianugerahkan Allah. Yang terpeting semuanya tetap mulia.
Sumber: cahayasiroh