Isteri bercerita? Hmm….setiap suami pasti punya pengalaman ini. Mendengarkan cerita isteri. Saat di perjalanan, di tempat tidur, di meja makan atau pada kesempatan lain, sepertinya momen isteri bercerita kepada suami adalah salah satu bagian dominan dalam sebuah kehidupan berumah tangga. Isteri pun punya pengalaman dan komentar sendiri terhadap cara suami mendengar ceritanya. Mulai dari komentar sangat positif sampai yang paling negatif. Ada saat isteri sudah merencanakan akan menceritakan sebuah peristiwa kepada suami seandainya sang suami pulang dari kantor. Cerita yang menurutnya sangat menarik. Tapi respon suami ????
Fokus dan Penuh Kehangatan
Ada yang komentar, ini nih…gue banget….Apa kita termasuk kategori suami seperti ini? Di saat isteri bercerita, maka kita benar-benar fokus dengan cerita isteri. Menghentikan semua pekerjaan yang kita kerjakan. Memperhatikan secara serius wajah isteri kita ? Mendengar dan menangkap semua maksud dari pembicaraannya ?
Say, Aku Dengerin sambil…..
Say, boleh ya aku dengerin kamu sambil aku mengerjakan ini. Tadi ada yang kurang waktu di kantor, mumpung inget. Gak apa-apa ya….aku juga dengerin kok. Terkadang sambil asik dengan gadget dan hpnya.
Zzzzzz…..
Isteri dengan sangat antusias bercerita kepada suaminya di tempat tidur. Sesaat kemudian, sang isteri terdiam karena terdengar suara dengkuran yang sangat indah dari sebelahnya. Sambil menghela nafas…berkomentar….dah biasa.
Gitu Aja Pake di Ceritain
Belum lagi selesai sang isteri bercerita, suami sudah menyela,”Kamu tu…dah tahu aku capek seperti ini, yang begituan aja kamu ceritain ke aku. Apa gak ada cerita lain yang lebih mutu?“.
Terlalu Banyak Pekerjaan Penting
Kita sebagai suami memang sibuk. Memikirkan berbagai tugas di kantor, meeting sana-sini dengan mitra bisnis kita, memikirkan sekian banyak usaha yang kita miliki, memikirkan sekian banyak karyawan yang harus di gaji….terlalu banyak kesibukan yang menurut kita jauh lebih penting dari hanya sekedar mendengar cerita isteri yang tidak punya nilai tambah apa pun terhadap pekerjaan dan bisnis kita. Lebih parah lagi ketika kita hampir menyamakan isteri kita seperti gadget yang kita miliki. Di pakai dan di sentuh saat kita membutuhkannya dan harus sangat membantu pekerjaan kita. Tanpa sadar kita sudah terjebak dalam sebuah mesin materialisme yang semua ukurannya terletak pada sejauh apa ia akan mempengaruhi investasi dan income yang kita miliki. Ketika isteri kita sakit, barulah kita memikirkan bagaimana caranya supaya ia cepat sembuh. Kacaunya bukan karena kita sangat mencintainya tapi lebih karena terlalu banyak pekerjaan kita yang menjadi tidak stabil karena berimbas dari sakitnya sang isteri. Tidak ada lagi yang menyiapkan sarapan dan semua perlengkapan yang di butuhkan untuk berangkat ke kantor. Tidak ada lagi yang menyiapkan kebutuhan-kebutuhannya pada saat kita sampai di rumah. Kita benar-benar seperti mesin dan tidak lagi melibatkan perasaan dalam banyak hal kehidupan kita.
Pendengar yang Baik itu Bernama “Muhammad”
Apa yang kita pikirkan tentang kesibukan seorang Muhammad, nabi dan figur yang mulia. Dia adalah pemimpin di tengah masyarakatnya. Dia ayah dari 7 orang anak. Dia memimpin sendiri pasukannya untuk berhadapan dengan orang-orang yang membenci tersebarnya dakwah Islam, walau dengan resiko kematian. Dia adalah seorang pedagang yang harus berfikir tentang perkembangan bisnisnya. Dia adalah suami dari sekian banyak isteri, dan setiap isteri memiliki problematika berbeda. Dan masih banyak kompleksitas kesibukan lain yang harus ia jalankan secara paralel. Tapi dari sekian banyak kesibukan yang rumit itu Muhammad adalah figur suami terbaik di semesta alam ini. Apa yang ingin kita pelajari dari Muhammad sebagai suami pada saat ia mendengarkan isterinya bercerita?
Mari kita bayangkan, seorang Rasul dengan kompleksitas permasalahan yang luar biasa. Tiba-tiba sang isteri meminta agar ia mendengarkan sebuah cerita. Mari sama-sama kita baca cerita ini. Saya tidak berharap kita mengerti dengan apa yang kita baca. Karena Aisyah menggunakan gaya bahasa sastra arab yang tinggi pada saat ia bercerita. Tapi coba kita bersabar sejenak untuk membacanya.
Ketika Aisyah bercerita kepada Rasulullah: Ada 11 orang wanita duduk berkumpul, lalu mereka saling berjanji dan mengucapkan kesepakatan untuk tidak menutup-nutupi sedikitpun informasi tentang suami-suami mereka.
Wanita pertama mengatakan: “Suamiku bagaikan seperti onta yang kurus yang berada diatas puncak gunung yang terjal, yang landai pun didaki dan yang gemuk pun dinaiki.”
Wanita kedua mengatakan: “Suamiku, aku terpaksa tidak dapat menuturkan mengenai keadaannya karena aku khawatir tidak dapat meninggalkannya. Jika aku menyebutkan sama halnya aku mengungkapkan rahasia aibnya.”
Wanita ketiga mengatakan: “Suamiku berperawakan tinggi sekali. Jika aku berbicara maka aku akan diceraikannya dan jika aku diam aku pun akan dibiarkannya tanpa dicerai dan dikawinkan (muallaqah).”
Wanita keempat mengatakan: “Suamiku seperti suasana malam di wilayah Tihamah, tidak panas dan tidak juga terlalu dingin, tidak menakutkan dan tidak juga membosankan.”
Wanita kelima mengatakan: “Suamiku apabila sudah memasuki rumah, maka dia langsung tertidur nyenyak dan apabila keluar rumah dia seperti seekor singa tanpa menanyakan sesuatu apapun yang bukan termasuk urusannya.”
Wanita keenam mengatakan: “Suamiku apabila makan, maka ia makan banyak sekali dengan bermacam jenis lauk dan jika minum maka semua sisa minuman akan diteguknya. Dan jika tidur dia akan berselimut tanpa mendekati diriku sehingga ia dapat merasakan nikmatnya kebersamaan.”
Wanita ketujuh mengatakan: “Suamiku adalah orang yang tidak mengetahui kepentingan dirinya atau lemah syahwat serta tergagap-gagap bicaranya, setiap obat yang diminum tidak dapat menyembuhkan. Di samping itu dia juga orang yang mudah melukai dan memukul.”
Wanita kedelapan mengatakan: “Suamiku beraroma wangi seperti zarnab dan sentuhannya selembut sentuhan seekor kelinci.”
Wanita kesembilan mengatakan: “Suamiku adalah seorang terhormat, berpostur tinggi dan sangat dermawan, berumah dekat dengan tempat pertemuan.”
Wanita kesepuluh mengatakan: “Suamiku bagaikan seorang raja, apa maksudnya? Suamiku adalah seorang pemilik unta yang banyak yang selalu menderum dan jarang sekali bergembala di padang rumput. Unta-unta tersebut jika mendengar suara alat musik kecapi, mereka merasa bahwa sebentar lagi mereka akan disembelih.”
Dan wanita yang kesebelas mengatakan: “Suamiku bernama Abu Zar`in(seorang petani). Tahukah kamu siapakah Abu Zar`in? Dialah yang memberiku perhiasan anting-anting dan memberiku makan sehingga aku kelihatan gemuk dan selalu membuatku gembira sehingga aku merasa senang. Dia mendapati diriku dari keluarga tidak mampu yang tinggal di lereng bukit lalu mengajakku tinggal di daerah peternakan kuda dan unta dan dia juga seorang petani. Aku tidak pernah dicela bila berbicara di sisinya dan bila tidur aku dapat tidur dengan nyenyak sampai pagi. Dan bila minum aku dapat minum sampai puas. Lalu Ummu Abu Zar`in `, tahukah kamu siapakah Ummu Abu Zar`in `? Dia memiliki kantong-kantong bahan makanan yang besar-besar dan rumahnya sangat luas. Ibnu Abu Zar`in `, tahukah kamu siapakah Ibnu Abu Zar`in `? Dia memiliki tempat tidur laksana pedang yang dicabut dari sarungnya. Dia sudah merasa kenyang dengan hanya memakan sebelah kaki seekor anak kambing. Putri Abu Zar`in `, tahukah kamu siapakah putri Abu Zar`in ` itu? Ia adalah seorang yang amat patuh terhadap kedua orang tuanya. Tubuhnya gemuk dan suka menimbulkan rasa iri tetangganya. Budak perempuan Abu Zar`in `, tahukah kamu siapakah budak perempuan Abu Zar`in `? Ia tidak pernah menyebarkan rahasia pembicaraan kami dan tidak menyia-nyiakan persediaan makanan kami serta tidak pernah mengotori rumah kami seperti sarang burung.”
Ia (sang istri) melanjutkan:” Suatu hari Abu Zar`in ` keluar dengan membawa bejana-bejana susu yang akan dijadikan mentega lalu bertemu dengan seorang wanita bersama kedua anaknya yang seperti dua ekor anak singa bermain dengan dua buah delima di bawah pinggang ibunya. Setelah itu aku diceraikannya demi untuk menikahi wanita tersebut. Lalu aku menikah lagi dengan seorang lelaki terhormat serta dermawan. Ia menunggangi seekor kuda yang sangat cepat larinya sambil membawa sebatang tombak dan memperlihatkan kepadaku kandang ternak yang penuh dengan unta, sapi dan kambing serta memberikanku sepasang dari setiap jenis binatang ternak tersebut. Dia berkata: Makanlah wahai Ummu Zar`in` dan bawalah untuk keluargamu. Kalau kukumpulkan semua pemberiannya pasti tidak akan mencapai harga tempat minum paling kecil milik Abu Zar`in `. Aisyah berkata: Rasulullah saw. bersabda kepadaku: “Aku terhadapmu adalah seperti Abu Zar`in` terhadap Ummu Zar`in.” Sumber: (Shahih Bukhari No.5189),(Shahih Muslim No.4481)
Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Aisyah,
كُنْتُ لَكِ كَأَبِي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ إِلاَّ أَنَّ أَبَا زَرْعٍ طَلَّقَ وَأَنَا لاَ أُطَلِّقُ
“Aku bagimu seperti Abu Zar’ seperti Ummu Zar’ hanya saja Abu Zar’ mencerai dan aku tidak mencerai.” (HR At-Thobroni dalam Al-Mu’jam Al-Kabir XXIII/173 no 270)
Dalam riwayat lain Aisyah berkata,
يَا رَسُوْلَ اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ
“Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku dari pada Abu Zar’.” (HR An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro V/358 no 9139)
Apa yang terbayang oleh kita? Sebuah cerita yang serius, rumit dan panjang. Sulit di mengerti kalau hanya di dengarkan secara sepintas. Tapi Rasulullah mendengarkan dengan sangat fokus dan memberikan sebuah kesimpulan yang tajam. Begitu pula Aisyah memberikan kesimpulan yang berdampak kepada harmonisasi kehidupan rumah tangga. Kesimpulan utama dari cerita itu justeru ada pada wanita ke-11. Di klimaks dan puncak cerita. Yang kalau Rasul terburu merasa bosan pastilah Ia kehilangan inti dari sebuah cerita. Tidak ada Selaan sedikit pun dari Rasulullah. Sungguh sebuah pengajaran yang sangat luar biasa. Inilah seni mendengar paling dahsyat dari seorang suami terbaik. Fokus mendengar, biarkan isteri bercerita tanpa di sela, sabar dan berikan respon atau umpan balik berupa kesimpulan yang berdampak pada harmonisasi keluarga. [Elvin Sasmita]